Mémoire Bagian 1

By: Wadzittooya


Bagian 1


Johannesgasse 28, Vienna, Austria 2025

Belaian lembut angin sore mengingatkannya tentang masa yang pernah ia lewati bersama teman seperjuangannya dulu. Bola matanya sesekali mengamati dari balkon kamar hotel. Dari sini terlihat aktivitas penduduk lokal yang nampaknya sangat menikmati musim panas kali ini, maklum saja sebab sekarang sudah memasuki pertengahan bulan Agustus dan untuk menyambutnya beragam cara dilakukan oleh mereka, seperti sekumpulan remaja yang bermain bola basket, mereka terlihat sangat menikmati hal itu. Ia kemudian mengedarkan pandangannya, menemukan seorang gadis muda bersama dengan anjingnya yang tampak sedang berlatih ketangkasan, rona bahagia terpancar dari wajah gadis tersebut seiring dengan kibasan ekor anjing tersebut setelah diberikan tepukan tangan oleh tuan nya. Tepat diseberang hotel tempat ia sekarang berdiri ia melihat sekumpulan pemuda yang asyik bercengkerama sambil menikmati segarnya sajian sorbet dalam sebuah cafe’, sepertinya mereka baru saja bertemu setelah sekian lama terpisah.

“Ah, mungkin saja ini merupakan waktu yang tepat bagi mereka untuk bertemu dan berbagi cerita petualangan masing-masing,” gumamnya.

Namun hal itu dirasa sangat tidak mungkin untuk sekarang, sebab dia pun tidak bisa menghadiri reuni tahunan di kampung halamannya sendiri, karena sedang berada di negeri orang.

“Mr Aziz” Suara seorang perempuan berambut blonde yang datang sambil membawakan jadwal untuk Aziz, menyadarkan Aziz dari lamunannya. Perempuan itu adalah sekretaris pendamping Aziz sementara berada di Austria selama beberapa minggu ini. “Mmm ya Danice?” Sahut Aziz. “Sir, you have to give some inauguration in this evening with another delegation at the Ballroom, so now you can use your own time to rest or enjoy this town vibes while we prepare your suit for the next event.” “ Ou,,,thanks for remind me, I’ll treat myself and go back to my room on 7 pm,,ok then” balas Aziz ringkas. Gadis muda itu mengangguk tanda ia paham apa yang Aziz ucapkan dan pamit undur diri. Aziz kembali pada lamunan nya. Mungkin untuk sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengistirahatkan pikiran sejenak dari segala macam urusan.

Menjadi seorang delegasi untuk tanah airnya merupakan suatu kebanggaan bagi Aziz, disamping itu ia telah menerima berbagai penghargaan atas kinerjanya dan kontribusinya terhadap peningkatan hubungan kerjasama industri yang tengah ia geluti sekarang serta atas segala derma yang ia berikan selama ini. Namun untuk meraih itu semua Aziz banyak mengorbankan waktu dan masa mudanya serta kampung halamannya, juga Arafah, gadis pujaan hatinya yang kini entah bagaimana kabarnya.


Belitong, September 2014

Hawa panas angin pesisir tidak mengganggu seorang anak laki-laki berambut acak berkulit sawo matang yang tengah berupaya mencapai puncak tertinggi pohon kelapa yang beberapa akarnya sudah mencuat ke atas. Semakin ia berupaya menjangkau beberapa buah kelapa, maka semakin banyak pergerakan yang ia buat dan hal itu mengakibatkan pohon kelapa tersebut menggelayut mengikuti arah angin. Disisi lain namun ditempat yang sama, beberapa anak-anak berpenampilan dekil turut bersorak menyemangati anak laki-laki tersebut. “AYO, BOY SEDIKIT LAGI BOY KAU PASTI BISA, TAPI HATI-HATI SALAH INJAK MAKA CELAKALAH KAU NANTI, AYO, BOY SEMANGAT BOY!!!!!”.

“CK, DIAMLAH!! KALAU KALIAN RIBUT NANTI BAPAK KU DATANG BAWA PARANG MATILAH KITA”, sahut anak laki-laki tersebut dari atas pohon kelapa. Kemudian terdengar suara benda berjatuhan dari atas pohon kelapa dan tak lama ditangan anak-anak tadi sudah ada empat buah kelapa muda. Rupanya mereka mengambil buah kelapa di kebun untuk mereka nikmati bersama.

“Ey boy kau tak akan kena marah bapak kau kan?” celetuk seorang anak laki-laki berbadan gempal ketika mereka menempatkan sisa buah kelapa di tempat pembuangan yang berdekatan dengan dinding beton pembatas antara lingkungan warga pesisir pantai dengan area pengunjung yang tampak kontras sekali antara warna cat di dinding yang sudah kusam dan terkelupas di sana sini dengan spanduk pemilu yang terpampang lebar disana.

“Eee hehehe mungkin habis ini aku tak pulang kerumah dulu kalau-kalau nanti bapak ku tahu anak sulung beliau tak pergi ke mushala untuk belajar ngaji di surau dengan Ustadz Hamid, dan ternyata malah asyik bersama teman-temannya memanjat pohon kelapa muda dikebun tanpa izin dari beliau, lagipula kita melakukannya untuk melepaskan beban sejenak dan menghibur diri kan?” Sahut anak laki-laki yang bernama Aziz tadi, yang direspon dengan tatapan bingung dan cemas dari teman-temannya ”Mmmhh,, ey boy kita main balapan yok siapa yang lebih cepat sampai ke warung cik Maimun, dia akan ditraktir oleh yang paling terakhir sampai ke sana.” 

“Ayooo” Sahut yang lainnya serempak.

Dan sore itu sekelompok pemuda tanggung berbadan dekil berlarian di pesisir pantai, dihiasi dengan redupnya sang penguasa hari di sela-sela raksasa batu karang yang ada di pesisir pantai dengan iringan formasi burung-burung migrasi yang menambah syahdunya senja saat itu.


Johannesgasse 28, Vienna, Austria 2025

Kembali ke masa sekarang dimana Aziz sendiri sedang tertawa kecil ketika mengingat masa itu, masa dimana ia merasa sangat bahagia berkumpul dan bermain bersama teman-temannya. “Ah rasanya ingin segera pulang dan bertemu dengan mereka, Arafah sendiri bagaimana kabarnya ya?” Tiba-tiba pertanyaan seperti itu terlintas di benak Aziz. Ya, dia Arafah, gadis yang sudah menawan hati Aziz selama enam tahun sejak bangku sekolah menengah pertama sampai akhir yang mengenaskan baginya ketika kelulusan di sekolah menengah atas dan pada saat menyadari bahwa ia harus berpisah dengan orang terdekatnya dan gosip pahit yang ia terima dari kawan-kawannya, tentang lamaran seorang lelaki terhadap Arafah yang sempat membuat mental Aziz terombang-ambing bak perahu kertas dilaut lepas,perumpamaan hidup segan mati enggan. Semenjak saat itu, Aziz seperti memiliki sebuah trauma yang membuatnya enggan menjalin hubungan dengan wanita lain, yang entah bagaimana membuatnya lebih fokus dan semakin gigih dalam menempuh pendidikan dan usahanya, sehingga mengantarkannya kepada posisi sekarang yang dari dulu sangat diimpikannya.

Aziz mulai mengetukkan buku-buku jarinya pada meja, yang ada di benaknya sekarang adalah, dulu ia hanya mengkhawatirkan masalah lingkup sekolah,rumah,pelabuhan dan Arafah seorang. Namun sekarang, pikirnya ia mesti mengkhawatirkan banyak hal terutama yang berhubungan dengan lingkup masalah industri dan hubungan Indonesia dengan negara besar lainnya. Tak terpikir baginya untuk mulai membangun sebuah hubungan keluarga kecil seperti yang diinginkan setiap orang ketika sudah mencapai target bahkan di usia yang hampir seperempat abad ini, ketika lebih dari separuh teman satu instansinya sudah berkeluarga dan bahkan sudah beranak pinak, namun ia masih betah untuk tetap sendiri. Apakah ini karena trauma di masa dulu? Entahlah, toh dia tidak ambil pusing dengan pandangan orang tentangnya yang mencap dia sebagai Aziz si bujang lapuk, dan yang lebih parah lagi, baru-baru ini dia mendengar kabar bahwa dia dianggap sebagai penderita kelainan seksual yang membuatnya tidak seperti orang normal kebanyakan. Mulut manusia kadang lebih terasa menyakitkan ketimbang sayatan sembilu.

Aziz memutuskan untuk turun ke lantai dasar untuk menikmati suasana di sore hari itu. Sesampainya di sana, terdengar musik klasik yang mulai mengalun di setiap sudut pertokoan seberang hotel tempat Aziz berada, lambat laun para pejalan kaki mulai memadati trotoar dan sesekali ada saja yang berhenti dan singgah di toko-toko tersebut untuk sekedar melihat-lihat atau bahkan membeli beberapa suvenir dari sana. Mata Aziz langsung terpaut kepada seorang wanita berusia sebaya berkerudung cokelat yang tampak kebingungan seperti mencari sesuatu diseberang sana, sesekali perempuan itu mengamati sesuatu di gadgetnya, penampilannya yang menunjukkan bahwa dirinya bukanlah warga lokal semakin menarik perhatian Aziz untuk mengamati lekat-lekat perempuan tersebut. Satu nama terlintas di benaknya,, Arafah.

“Arafah, benarkah ini? Apa aku sedang berhayal?” Batin Aziz. Sosok Arafah yang telah sekian lama tak pernah ia temui kini dengan jelas berada diseberang sana. Sulit sekali untuk mengenali wajahnya oleh karena kacamata hitam yang menutupi sebagian kecil wajahnya. Terpaksa Aziz memiringkan badannya demi memenuhi rasa penasarannya, dan benar saja tak berapa lama wanita itu membuka kacamatanya dan memang itulah rupa yang diharapkan Aziz,, Arafah.

Tapi untuk apa ia datang kesini?” gumamnya. Memang benar setelah sekian lama terpisah, Aziz sudah sangat asing dengan diri Arafah sekarang.


Bersambung...

Posting Komentar

0 Komentar